Sebelumnya penonton di harap
tenang, meski membahas tentang filsafat, tapi ini bahasanya santai kok. Jadi, dalam
kesempatan kali ini mari kita berkenalan dengan filsafat dan menikmati
hidangan-hidangan lezat di dalamnya. Tanpa berpanjang kata, untuk semua sahabat/i,
Check this out!.
Artikel ini mengutip sebagian isi
daripada sebuah novel filsafat (best seller internasional) karya Joestein
Gaarder[1]
yang berjudul Dunia Sophie, versi bahasa Indonesia - hak cipta oleh
Mizan Pustaka; Kronik Zaman Baru (Gold Edition - 2008), yang kebetulan oleh penulis
(buku/novel tersebut) dipinjami oleh seorang “filsuf muda” di STF Al-Farabi
Kepanjen. Pada bab awal novel tersebut mengenalkan tentang pengertian filsafat dengan
pendekatan yang sederhana tapi mengena. Oke lah, tanpa berpanjang lebar
langsung kita baca yuk![2]
Aapakah Filsafat Itu?
Sahabat/i yang berbahagia,
Banyak orang mempunyai hobi.
Sebagian orang suka mengoleksi koin kuno atau prangko luar negeri, sebagian
suka merajut, yang lain mengisi hamper seluruh waktu luangnya dengan olahraga
tertentu.
Banyak orang senang membaca.
Namun selera membaca itu berbeda-beda. Sebagian orang hanya membaca koran atau
komik, sebagian senang membaca novel, sementara yang lain lebih menyukai buku
tentang astronomi, margasatwa, atau penemuan-penemuan teknologi.
Jika kebetulan aku tertarik pada
kuda atau batu mulia, aku tidak bisa memaksa orang lain untuk ikut menyukai
kesenanganku. Jika ku suka menonton semua program olahraga di televise, aku
harus menyadari bahwa orang lain mungkin menganggap olahraga itu membosankan.
Tidak adakah sesuatu yang memikat
hati kita semua? Tidak adakah sesuatu yang menyangkut kepentingan semua
orang-tidak soal siapa mereka atau dimana mereka tinggal di dunia ini? Ya,
sahabt/i, memang ada masalah-masalah yang jelas akan menarik minat semua orang.
Dan, itulah masalah-masalah yang di bahas dalam kesempatan ini.
Apakah hal terpenting dalam
kehidupan? Jika kita bertanya kepada seseorang yang sedang kelaparan ,
jawabanya adalah makanan. Jika kita bertanya kepada kepada orang yang sedang
kedinginan, jawabanya adalah kehangatan. Jika kita ajukan pertanyaan yang sama
kepada orang yang merasa kesepian dan terasing, jawabanya barangkali ditemani
orang lain.
Namun, jika kebutuhan-kebutuhan dasar
ini telah terpuaskan-masih adakah sesuatu yang dibutuhkan semua orang? Para
filosof menganggapnya ada. Mereka yakin bahwa manusia tidak dapat hidup dengan
roti semata. Sudah pasti manusia tidak dapat hidup dengan nasi semata. Dan,
setiap orang membutuhkan cinta dan perhatian. Namun, ada sesuatu yang
lain-lepas dari semua itu-yang dibutuhkan setiap orang, yaitu mengetahui
siapakah kita dan mengapa kita ada di sini.
Tertarik pada pertanyaan mengapa kita berada
di sini bukanlah ketertarikan “sambil lalu” seperti mengoleksi perangko.
Orang-orang yang mengajukan pertanyaan semacam itu ikut serta dalam suatu
perdebatan yang telah berlangsung selama, manusia hidup di dunia ini. Bagaimana
alam raya, bumi, dan kehidupan muncul merupakan suatu pertanyaan yang lebih
besar dan lebih penting daripada siapa yang memenangi medali emas paling banyak
dalam olimpiade yang lalu.
Cara terbaik untuk mendekati
filsafat adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan filosofis:
Bagaimana dunia diciptakan?
Adakah kehendak atau makna dibalik apa yang terjadi? Adakah kehidupan setelah
kematian? Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Dan yang terpenting,
bagaimana seharusnya kita hidup. Orang-orang telah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan ini selama berabad-abad. Kita tidak mengenal kebudayaan
yang tidak mengaitkan diri dengan pertanyaan apakah manusia itu dan dari mana
datangnya dunia.
Pada dasarnya, tidak banyak
pertanyaan filosofis yang harus diajukan. Kita sudah mengajukan sebagian dari
pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Namun, sejarah member kita banyak
jawaban yang berbeda untuk setiap pertanyaan. Maka, adalah lebih mudah untuk
mengajukan pertanyaan filosofis daripada menjawabnya.
Sekarang pun setiap individu
harus menemukan jawabanya sendiri untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama. Kamu tidak
akan tahu apakah ada Tuhan atau apakah ada kehidupan setelah kematian dengan
mencarinya di buku ensiklopedi. Buku ensiklopedi juga tidak akan member tahu
kita bagaimana sebaiknya kita hidup. Namun, membaca apa yang telah diyakini
orang lain dapat membantu kita untuk merumuskan sudut pandang kehidupan kita
sendiri.
Pencarian kebenaran yang dilakukan
oleh para filosof menyerupai sebuah cerita detektif. Sebagian orang berpendapat
Andersen adalah pembunuhnya, sementara menurut orang lain Nielsen atau Jensen. Polisi
kadang-kadang mampu memecahkan suatu kasus pembunuhan sungguhan. Namun, ada
kemungkinan pula mereka tidak pernah sampai ke dasarnya, meskipun sulit untuk
menjawab suatu pertanyaan, barangkali ada satu-dan hanya satu-jawaban yang
tepat. Entah itu adanya semacam eksistensi setelah kematian-atau tidak ada.
Banyak teka-teki kuno yang kini
telah berhasil dijelaskan melalui ilmu pengetahuan. Seperti apa sisi gelap
bulan itu sebelumnya pernah terselubung misteri. Dulu, itu bukanlah sesuatu
yang dapat dipecahkan lewat diskusi, melainkan diserahkan pada imajinasi setiap
individu. Tetapi, kini kita tahu dengan tepat seperti apa sisi gelap bulan itu,
dan tak seorang pun yang masih “percaya” pada Manusia di bulan, atau bahwa
bulan itu terbuat dari keju hijau.
Seorang filosof Yunani yang hidup
lebih dari dua ratus tahun yang lalu percaya bahwa asal-mula filsafat adalah
rasa ingin tahu manusia. Manusia menganggap betapa menakjubkan hidup itu segingga
pertanyaan-pertanyaan filosofis pun muncul dengan sendirinya.
Seperti menonton tipuan sulap. Kita
tidak mengerti bagaimana tipuan itu dilakukan. Maka kita bertanya: bagaimana
pesulap itu mengubah sepasang selendang sutra putih menjadi seekor kelinci
hidup?
Banyak orang menjalani pengalaman
di dunia dengan ketidakpercayaan yang sama seperti ketika seorang pesulap
dengan tiba-tiba menarik seekor kelinci dari topinya, padahal sebelumnya telah
ditunjukkan bahwa topi itu kosong.
Dalam kasus kelinci, kita tahu
bahwa pesulap itu telah memperdaya kita. Yang ingin kita ketahui hanyalah bagaimana
dia melakukanya . Tapi, jika menyangkut dunia bukanlah hasil sulapan tangan dan
tipuan, sebab kita berada di sini di dalamnya, merupakan bagian darinya. Sesungguhnya,
kita adalah kelinci putih yang ditarik keluar dari topi. Satu-satunya perbedaan
antara kita dan kelinci putih itu adalah bahwa kelinci tidak menyadari dirinya
ikut ambil bagian dalam suatu tipuan sulap. Tidak seperti kita. Kita merasa
kita adalah bagian dari sesuatu yang misterius dan kita ingin tahu bagaimana
cara kerjanya.
-N.B. Sepanjang menyangkut
kelinci putih, barangkali lebih baik kita membandingkanya dengan seluruh alam
raya. Kita yang hidup di sini adalah serangga-serangga mikroskopis yang hidup
di sini adalah serangga-serangga mikroskopis yang hidup di sela-sela bulu
kelinci. Namun, para filosof selalu berusaha untuk memanjat helaian-helaian
lembut bulu binatang itu untuk dapat menatap langsung ke mata si tukang sulap.
Apakah sahabat/I masih menyimak? Bersambung
dulu ya.... (like/comment please)
Oy, satu hal juga berkaitan
dengan dunia filsafat adalah satu poin penting ini; Rasa ingin tahu!. Begitu
pentingnya karena semua pemikiran-pemikiran filosofis pun berawal dari rasa
keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini,
terkait dengan alam, penciptaan, hal kebenaran, dan lain sebagainya. So, jangan
matikan rasa “ingin tahu” kita dan mulai membuka diri terhadap segala sesuatu
yang “baru” yang tentunya bermanfaat dan bernilai positif bagi kita, mencintai
Ilmu pengetahuan dan mau mempelajarinya secara mendalam. Kita akhiri “bacaan”
kali ini dengan sebuah kalimat cetar dari Rene Descartes; Cogito, ergo sum!;
Aku berfikir, maka aku ada!. See ya!.
[1]
JOESTEIN GAARDER lahir pada 1952 di Oslo, Norwegia. Memulai karir sastranya
pada 1986 dengan sebuah kumpulan cerita pendek, disusul oleh dua novel untuk
remaja. Pada 1990, menerima penghargaan dari Norwegian Literary Critics dan
hadiah sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk bukunya The
Solitare Mystery. Gaarder telah mengajar filsafat untuk tingkat sekolah
menengah di Norwegia selama lebih dari sebelas tahun, dan kini adalah seorang
penulis full time. Dan kini dia tinggal di Oslo bersama keluarganya.
[2]
Dengan perubahan seperlunya, tanpa mengurangi sedikitpun esensi dari cuplikan
buku/novel tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar