Selasa, 19 Mei 2015

Berkenalan dengan Filsafat



Sebelumnya penonton di harap tenang, meski membahas tentang filsafat, tapi  ini bahasanya santai kok. Jadi, dalam kesempatan kali ini mari kita berkenalan dengan filsafat dan menikmati hidangan-hidangan lezat di dalamnya. Tanpa berpanjang kata, untuk semua sahabat/i, Check this out!.

Artikel ini mengutip sebagian isi daripada sebuah novel filsafat (best seller internasional) karya Joestein Gaarder[1] yang berjudul Dunia Sophie, versi bahasa Indonesia - hak cipta oleh Mizan Pustaka; Kronik Zaman Baru (Gold Edition - 2008), yang kebetulan oleh penulis (buku/novel tersebut) dipinjami oleh seorang “filsuf muda” di STF Al-Farabi Kepanjen. Pada bab awal novel tersebut mengenalkan tentang pengertian filsafat dengan pendekatan yang sederhana tapi mengena. Oke lah, tanpa berpanjang lebar langsung kita baca yuk![2]

Aapakah Filsafat Itu?

Sahabat/i yang berbahagia,
Banyak orang mempunyai hobi. Sebagian orang suka mengoleksi koin kuno atau prangko luar negeri, sebagian suka merajut, yang lain mengisi hamper seluruh waktu luangnya dengan olahraga tertentu.

Banyak orang senang membaca. Namun selera membaca itu berbeda-beda. Sebagian orang hanya membaca koran atau komik, sebagian senang membaca novel, sementara yang lain lebih menyukai buku tentang astronomi, margasatwa, atau penemuan-penemuan teknologi.

Jika kebetulan aku tertarik pada kuda atau batu mulia, aku tidak bisa memaksa orang lain untuk ikut menyukai kesenanganku. Jika ku suka menonton semua program olahraga di televise, aku harus menyadari bahwa orang lain mungkin menganggap olahraga itu membosankan.

Tidak adakah sesuatu yang memikat hati kita semua? Tidak adakah sesuatu yang menyangkut kepentingan semua orang-tidak soal siapa mereka atau dimana mereka tinggal di dunia ini? Ya, sahabt/i, memang ada masalah-masalah yang jelas akan menarik minat semua orang. Dan, itulah masalah-masalah yang di bahas dalam kesempatan ini.

Apakah hal terpenting dalam kehidupan? Jika kita bertanya kepada seseorang yang sedang kelaparan , jawabanya adalah makanan. Jika kita bertanya kepada kepada orang yang sedang kedinginan, jawabanya adalah kehangatan. Jika kita ajukan pertanyaan yang sama kepada orang yang merasa kesepian dan terasing, jawabanya barangkali ditemani orang lain.

Namun, jika kebutuhan-kebutuhan dasar ini telah terpuaskan-masih adakah sesuatu yang dibutuhkan semua orang? Para filosof menganggapnya ada. Mereka yakin bahwa manusia tidak dapat hidup dengan roti semata. Sudah pasti manusia tidak dapat hidup dengan nasi semata. Dan, setiap orang membutuhkan cinta dan perhatian. Namun, ada sesuatu yang lain-lepas dari semua itu-yang dibutuhkan setiap orang, yaitu mengetahui siapakah kita dan mengapa kita ada di sini.

Tertarik pada pertanyaan mengapa kita berada di sini bukanlah ketertarikan “sambil lalu” seperti mengoleksi perangko. Orang-orang yang mengajukan pertanyaan semacam itu ikut serta dalam suatu perdebatan yang telah berlangsung selama, manusia hidup di dunia ini. Bagaimana alam raya, bumi, dan kehidupan muncul merupakan suatu pertanyaan yang lebih besar dan lebih penting daripada siapa yang memenangi medali emas paling banyak dalam olimpiade yang lalu.

Cara terbaik untuk mendekati filsafat adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan filosofis:

Bagaimana dunia diciptakan? Adakah kehendak atau makna dibalik apa yang terjadi? Adakah kehidupan setelah kematian? Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Dan yang terpenting, bagaimana seharusnya kita hidup. Orang-orang telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini selama berabad-abad. Kita tidak mengenal kebudayaan yang tidak mengaitkan diri dengan pertanyaan apakah manusia itu dan dari mana datangnya dunia.

Pada dasarnya, tidak banyak pertanyaan filosofis yang harus diajukan. Kita sudah mengajukan sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Namun, sejarah member kita banyak jawaban yang berbeda untuk setiap pertanyaan. Maka, adalah lebih mudah untuk mengajukan pertanyaan filosofis daripada menjawabnya.

Sekarang pun setiap individu harus menemukan jawabanya sendiri untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama. Kamu tidak akan tahu apakah ada Tuhan atau apakah ada kehidupan setelah kematian dengan mencarinya di buku ensiklopedi. Buku ensiklopedi juga tidak akan member tahu kita bagaimana sebaiknya kita hidup. Namun, membaca apa yang telah diyakini orang lain dapat membantu kita untuk merumuskan sudut pandang kehidupan kita sendiri.

Pencarian kebenaran yang dilakukan oleh para filosof menyerupai sebuah cerita detektif. Sebagian orang berpendapat Andersen adalah pembunuhnya, sementara menurut orang lain Nielsen atau Jensen. Polisi kadang-kadang mampu memecahkan suatu kasus pembunuhan sungguhan. Namun, ada kemungkinan pula mereka tidak pernah sampai ke dasarnya, meskipun sulit untuk menjawab suatu pertanyaan, barangkali ada satu-dan hanya satu-jawaban yang tepat. Entah itu adanya semacam eksistensi setelah kematian-atau tidak ada.

Banyak teka-teki kuno yang kini telah berhasil dijelaskan melalui ilmu pengetahuan. Seperti apa sisi gelap bulan itu sebelumnya pernah terselubung misteri. Dulu, itu bukanlah sesuatu yang dapat dipecahkan lewat diskusi, melainkan diserahkan pada imajinasi setiap individu. Tetapi, kini kita tahu dengan tepat seperti apa sisi gelap bulan itu, dan tak seorang pun yang masih “percaya” pada Manusia di bulan, atau bahwa bulan itu terbuat dari keju hijau.

Seorang filosof Yunani yang hidup lebih dari dua ratus tahun yang lalu percaya bahwa asal-mula filsafat adalah rasa ingin tahu manusia. Manusia menganggap betapa menakjubkan hidup itu segingga pertanyaan-pertanyaan filosofis pun muncul dengan sendirinya.

Seperti menonton tipuan sulap. Kita tidak mengerti bagaimana tipuan itu dilakukan. Maka kita bertanya: bagaimana pesulap itu mengubah sepasang selendang sutra putih menjadi seekor kelinci hidup?
Banyak orang menjalani pengalaman di dunia dengan ketidakpercayaan yang sama seperti ketika seorang pesulap dengan tiba-tiba menarik seekor kelinci dari topinya, padahal sebelumnya telah ditunjukkan bahwa topi itu kosong.

Dalam kasus kelinci, kita tahu bahwa pesulap itu telah memperdaya kita. Yang ingin kita ketahui hanyalah bagaimana dia melakukanya . Tapi, jika menyangkut dunia bukanlah hasil sulapan tangan dan tipuan, sebab kita berada di sini di dalamnya, merupakan bagian darinya. Sesungguhnya, kita adalah kelinci putih yang ditarik keluar dari topi. Satu-satunya perbedaan antara kita dan kelinci putih itu adalah bahwa kelinci tidak menyadari dirinya ikut ambil bagian dalam suatu tipuan sulap. Tidak seperti kita. Kita merasa kita adalah bagian dari sesuatu yang misterius dan kita ingin tahu bagaimana cara kerjanya.

-N.B. Sepanjang menyangkut kelinci putih, barangkali lebih baik kita membandingkanya dengan seluruh alam raya. Kita yang hidup di sini adalah serangga-serangga mikroskopis yang hidup di sini adalah serangga-serangga mikroskopis yang hidup di sela-sela bulu kelinci. Namun, para filosof selalu berusaha untuk memanjat helaian-helaian lembut bulu binatang itu untuk dapat menatap langsung ke mata si tukang sulap.
Apakah sahabat/I masih menyimak? Bersambung dulu ya.... (like/comment please)            

Oy, satu hal juga berkaitan dengan dunia filsafat adalah satu poin penting ini; Rasa ingin tahu!. Begitu pentingnya karena semua pemikiran-pemikiran filosofis pun berawal dari rasa keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, terkait dengan alam, penciptaan, hal kebenaran, dan lain sebagainya. So, jangan matikan rasa “ingin tahu” kita dan mulai membuka diri terhadap segala sesuatu yang “baru” yang tentunya bermanfaat dan bernilai positif bagi kita, mencintai Ilmu pengetahuan dan mau mempelajarinya secara mendalam. Kita akhiri “bacaan” kali ini dengan sebuah kalimat cetar dari Rene Descartes; Cogito, ergo sum!; Aku berfikir, maka aku ada!. See ya!.


[1] JOESTEIN GAARDER lahir pada 1952 di Oslo, Norwegia. Memulai karir sastranya pada 1986 dengan sebuah kumpulan cerita pendek, disusul oleh dua novel untuk remaja. Pada 1990, menerima penghargaan dari Norwegian Literary Critics dan hadiah sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk bukunya The Solitare Mystery. Gaarder telah mengajar filsafat untuk tingkat sekolah menengah di Norwegia selama lebih dari sebelas tahun, dan kini adalah seorang penulis full time. Dan kini dia tinggal di Oslo bersama keluarganya.
[2] Dengan perubahan seperlunya, tanpa mengurangi sedikitpun esensi dari cuplikan buku/novel tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar