Rabu, 18 Maret 2015

Bangsa ini kurang kreatif; Tanyakan Kenapa?




Sebenarnya ini adalah ringkasan dari buku Prof. Ng. Aik Kwang dari University of Queensland yang berjudul “Mengapa Bangsa Asia Kalah Kreatif dari Negara-Negara Barat” (Why Asians Less Creative Than Westerners). Tapi rasanya bangsa Indonesia memiliki cirri-ciri yang paling mirip seperti yang tertulis dalam buku itu.

1.   Bagi kebanyakan orang Indonesia, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang, dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah popular oleh profesi dokter, pengacara, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki banyak kekayaan.
2.  Bagi orang Indonesia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenisnya. Tidak heran bila prilaku korupsi pun ditolelir/diterima sebagai sesuatu yang wajar-selama ia bisa menghasilkan.
3.  Bagi orang Indonesia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban”, bukan pada pengertian. Ujian nasional, termasuk tes masuk PT, dll, semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainya, bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.
4.  Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Indonesia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
5.  Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam olimpiade Fisika dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Indonesia yang memenangkan Nobel atau hadiah internasional lainya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
6.  Orang Indonesia takut salah dan takut kalah. Akibatnya, sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
7.  Bagi kebanyakan bangsa Indonesia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
8.  Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah, dalam seminar atau workshop peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir, peserta akan mengerumuni guru/narasumber untuk meminta penjelasan tambahan.


Dalam bukunya, Prof. Ng. Aik Kwang juga menawarkan beberapa solusi yang bisa kita renungi dan analisa kebenaranya.

1.     HARGAI PROSES. Hargailah orang karena pengabsianya, bukan karena kekayaanya. Percuma bangga naik haji, bisa membangun masjid atau pesantren tapi duitnya dari hasil korupsi.
2.    Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukinya.
3.    Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban untuk X x Y harus dihapalakan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.
4.    Biarkan anak memilih profesi  berdasarkan passion (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.
5.    Dasar kreativitas adalah RASA PENASARAN dan BERANI MENGAMBIL RISIKO. So, AYO BERTANYA!.
6.    Guru adalah fasilitator, bukan DEWA yang harus tau segalanya. Mari akui dengan bangga kalau KITA TIDAK TAHU!.
7.    Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Jika anda sebagai orang tua, Anda bertanggung jawab mengarahkan anak Anda untuk menemukan passionnya dan senantiasa member support.

Ayo, bersama kita berdialegtika, kreatif dan cinta pada kebijaksanaan.
“Salam cinta pengetahuan”

Diketik ulang sebagaimana aslinya dari majalah dinding STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Al-Farabi Malang. Naskah asli Disunting oleh: Ahmad Khoirun Nafis, “Pembangun dan Penidur” di STF Al-Farabi.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar